Gegana para Bedebah
Awan lebam
sore ini nampak berkeliaran tak tentu. Menunggui rembulan menggantikan saga
yang telah bersedia rehat dengan takzim. Debur ombak yang masih menghibur
telinga-telinga haus suara, layaknya terompet surga tak henti-hentinya
menyanyikan dendangan tak gulana. Sedang, bahagialah. Pasir putih bertekstur
lembut layaknya eskrim susu itu meleleh ketika dipijak. Menimbulkan rasa rileks
dalam jiwa, Subhanallah. Kincir angin di samping rumah singgahku berputar
kencang ditiup angin laut. Begitu juga lampion-lampion berwarna manis di setiap
ujung-ujung atap, semua menari mengikuti iramanya.
Di
rumah singgah ini, aku menghidupi diriku sendiri. Sebenarnya sudah bukan rumah
singgah lagi namanya. Rumah ini kubeli dari petugas pantai yang mengaku menjadi
pemiliknya. Harganya saat itu bisa untuk membeli motorsport. Getir memang
menerimanya, bayangkan saja, aku hanya sebatang kara di dunia ini. Bagaimana
mungkin aku bisa membeli rumah singgah dengan label semahal itu? Tapi, pada
realitanya nanti, aku akan dengan mudah membeli bahkan memborong semua rumah
singgah jelek itu jika ada, diseluruh dunia. Betapa aku punya Tuhan yang amat
kaya raya jika hanya meminta satu saja.
Ini
cerita tentang perjuangan, dengarkan, maka kau akan tau semuanya.
***
“Fif,
sudahkah kamu memilah kue di kantong plastik?” abah, orang termiskin di dunia
ini, untuk membeli sebutir beras saja dia harus menggali tanah merah yang
menakutkan. “Belum bah, apakah abah membelinya di toko yang aku inginkan?” anak
ingusan ini bertanya dengan jumawa. Tak berpikir apapun. “Iya nak,” setelah
beberapa menit nanti aku tau jika abah selalu berbohong masalah makanan yang
sehari-hari kumakan, bodohnya aku. “Baik bah, laksanakan!” aku berlari kecil
menuju meja makan reyot tak terurus. Mengambil roti yang masih tampak bagus dan
bersih, dilapisi plastik bening yang menambah kesan ‘membeli’ pada tatapan
mataku.
Aku
bersorak di dalam hati, berteriak riang gembira ketika mengeluarkan beberapa roti baru itu dan meletakkannya di
piring keramik, sungguh bahagia, apa kau bisa merasakan bahagiaku saat itu?
“Abah juga membelikan susu sachet untuk
kamu, bisa dimakan bersama roti manis itu. Spesial untuk anak abah yang hari
ini ulang tahun.” Percaya tidak percaya, abah menangis memelukku, membasahi
baju lusuhku. “Nak, abah ini abah terbodoh di dunia, abah termiskin di dunia.
Abah bahkan tidak pernah membelikan roti seperti yang kamu bayangkan. Abah
tidak mampu nak. Mamak? mamakpun sama seperti abah.” Abah sukses membuatku
hancur di sore ini.
***
Ini
beberapa hari setelah kelulusan, dimana aku mendapat predikat yang amat
membanggakan keluarga miskinku. Ya, begitu amat membanggakan, di dalam lingkup
keluargaku, tidak ada lulus sekolah dan bekerja mapan. Tidak ada kata
bersenang-senang dan makan enak. Tidak ada kata kuliah, dan sarjana.
“Mamak
tidak berharap kamu sekolah tinggi, yang penting kamu pintar agama, dan sukses
dunia akhirat.” Mamak, dengan penuh semangat, senyumnya memenuhi wajah. “Tapi
abah mau kamu sekolah tinggi, biar jadi sarjana. Belajar akuntan, biar ngitung-ngitung
kamu baik, nggak seperti mamak dan abah. Mamak bilang seperti itu tak
memikirkan akibatnya.” Abah tampak membela diri sendiri. “Ya.. orang sarjana
belum tentu bisa bekerja bah, dan soal hitung-menghitung mamak jagonya,” mataku
berkeliling, berusaha menjauhkan konsentrasi kepada dua orangtua yang sedang
cerewet berkepanjangan itu.
“Mak
mak, sungguh bodoh kau ini,” abah meninggalkan ruangan yang sedari tadi hangat
diterpa sindiran-sindiran mereka. “Aku tidak bodoh, jika aku bodoh kenapa kau
menikahiku?” langkah kaki abah tak berhenti, sambil mengangkat bahunya. “Ya...
itu rahasia yang di atas.” Aku cekikikan melihat drama korea barusan.
Esok
paginya, setelah hari kelulusanku. Mamak menyiapkan perbekalan, pakaian dan tas
saja sebenarnya. Dan tangannya menggenggam sesuatu.
“Untuk Rafif,” genggamannya masih
belum terlepas dari tanganku.
“Apa Mak?” sudah, terima saja
dulu.
“Uang, kamu harus merantau hari
ini. Kamu sudah lulus. Ini adalah waktunya.” Mak ngotot menarik-narik kedua
tanganku.
“Kenapa harus keluar kota? Aku
bisa bekerja sebagai tukang tambal ban di kota sendiri.” Menggeleng, mamak
menggeleng dengan takzim.
Saat
itu juga aku mengangguk, menerima paksaan mamak dengan sopan.
“Baiklah mak,” senyum merekahpun
menghiasi wajah cerahnya. Apapun demimelihat mamak bahagia akan aku lakukan.Hari
itu juga azzamku berubah, merantau membahagiakan mamak. Bukan bekerja memenuhi
kebutuhan hidup dengan hanya menjadi tukang tambal ban abal-abal yang
kuidam-idamkan begitu lama, doakan aku mak, semoga saja anakmu ini bisa
menggenggam dunia. Dan tidak terjerumus dalam dosa.
***
Selamat
datang anak Rafif, di tempat dimana kau akan selalu bahagia, ditemani Apa Kwang,
kemakmuran, dan semua keinginanmu akan Apa kabulkan. Semuanya, sungguh anak Rafif.
Bapak ustaz bertubuh tambun itu berkata_jumawa, dilanjutkan ‘tertawa jahat’ di
akhirnya, seperti di film-film. Sesungguhnya aku takut bersamanya, maksudku,
aku tidak percaya sepenuhnya dengan janji-janji yang dia kokohkan. Aku hanya
ingin sekadar mencari perlindungan dan, tempat tinggal. Itu saja, tapi nanti
aku akan tau, seluruh kehidupan nyataku, berawal dari sini.
***
Aku
diantar mamak sampai terminal bis, jujur, melihat mesin butut bin jelek karatan
itu saja aku langsung terkesima, seakan ingin bersimpuh di depannya. Memuja-muja,
tapi mamak menjelaskan dengan saksama, mamak memang guru segalanya untuk
kehidupanku. “Fif, ingat semua kata mamak tentang tuhan. Kalau kamu sedang
lemah iman, ingat sekali lagi semua kata mamak tentang Tuhan, mamak tak akan
mengakui kau sebagai anak lagi jika kau memilih murka Tuhan, tak segan mamak
mengusirmu dari dunia ini, carilah guru agama yang baik Rafif, carilah jati
diri, carilah ajaran yang benar.” Mamak, sambil membuntal gumpalan uang dari
tas jinjing lusuhnya. “Pintar-pintarlah mengatur duit ini Fif, mamak tak bisa
bawakan kau lebih dari ini, yang tadi itu, untuk transportasi, dan yang ini
untuk hidup sehari-hari, kamu harus bisa mencari sambilan untuk menambah ini
Fif, usaha sbaik mungkin ya Fif.” Aku mengangguk saja, mengerti keadaan mak,
“Doakan Rafif selalu mak, salam buat abah. Rafif janji pulang membawa
berbatang-batang emas. Mamak bisa menikmatinya sepanjang waktu.” Salah, mak
menggeleng tegas. “Mamak ingin kamu pintar agama, pasti kehidupanmu akan
terjamin,” sepatah kata sebelum bis ‘indah’ menyeberangi luasnya hamparan aspal
hitam panas. Dan begitu selama seharian.
Dan aku sampai di kota tujuanku.
Kota harapan.
Saat
itu, sekitar tahun 90-an, sedang marak-maraknya gangster yang seakan ‘macho’
aku melihat beritanya di mana-mana. Terkesan garang dengan style dan perekrutan
yang penuh persyaratan. Aku lewat di salahsatu sarang gangster ternama
(beberapa jam setelah itu aku dijelaskan semua tentang gang ternama itu di
rumah besar di tengah kota) di sana aku bertemu bapak tambun yang mengaku
sedang beristirahat setelah menghabisi banyak personil gangster. Dia memakai
kupiah haji putih dan jubah panjang selutut. Aku langsung teringat ucapan mak.
aku harus berkenalan dengannya, pasti dia pemuka agama yang mamak anut.
“Benarkah ini bapak ustaz?”
segan, aku menundukkan badanku serendah-rendahnya.
“Maaf wahai anak, saya hanya
orang awam. Apakah anak seorang perantauan?” matanya teduh.
“Sa saya, ya.. saya perantauan
nama saya Rafif. Bapak ustaz?”
“Baik anak Rafif, saya Kwang.
Muslim jepang.”
“Apakah anak ingin tinggal
bersama Apah Kwang? Menjadi teman Apah Kwang di rumah?” aku mengangguk takzim,
bagaimanapun aku akan menerima orang berkupiah dan bersarung seperti macam
pemuka agama.
***
“Tidak
perlu takut dengan Apah, anggap semuanya milikmu. Apah tak akan pernah usil.”
Apah, begitu panggilan spesial yang dia berikan sendiri untuk dirinya. Dihari
pertama menginjakkan kaki, aku hanya mengangguk-dan menggeleng saja,
berkonsentrasi takzim mendengarkan semua cerita Apah tentang gangster yang tadi
dihabisi Apah seorang diri. Dihari kedua, aku akhirnya tau.
“Apah,”
aku mulai bisa memanggilnya, dengan sebutan itu. “Iya anak?” Apah melinting
setengah lengan bajunya. Terihat sedikit tanda yang menurutku hebat sekali. “Pah,
apakah Apah punya tato?” Ia agak kebingungan membenarkan lengan bajunya.
“Walaupun kau hanya anak perantauan yang tak dikenal statusnya, kau tetap
keluargaku, kau harus tau anak.” Tercengang. Benar, Apah yang kukenal sebagai
‘bapak ustaz’ yang begitu alim ternyata memiliki masalalu kelam.
“Benar
anak Rafif, Apah dulu bagian dari gangster itu. Apa memutuskan keluar ketika
Apa merasakan jantung Apah berhenti berdetak ketika mendengar suara shalawat.
Apah begitu takzim dan terkesima.
Kepala Apah bergeleng-geleng mengingat-ingat
siluet semu di atas kepalanya,
Dan saat itu
juga Apah keluar, lihat tangan Apa Nak,” oh Tuhan ternyata jari-jemari Apah sama
sekali tidak ada. “Itu upacara yang paling tidak bisa dilupakan, dan hari ini
Apah kembali mengingat hal yang sungguh akan begitu penting bagi kehidupan Apah,
Apah tau nak, anak Rafif, kamu pasti amanah untuk Apah, Apah harus menjaga kamu
sebaik mungkin, Apah janji,” iya Apah,
aku juga akan seperti itu. “aku adalah orang bodoh yang tinggal bersama orang
tuaku di desa Pah,” sekali lagi Apah mengangguk dan menegakkan kepala, berkata
sesuatu. “Bisa Apah tau, nama Abahmu siapa?” detil sekali, batinku. “Abah Mal
Ang, dan Mamak Gendis, aku tak tau nama asli mereka Pah, itu nama di pedesaan
sana. Apah takzim mendengarkan. Setiap hari aku diantar mamak dengan sepedanya.
Apah bekerja setiap hari sebagai orang susah, dia tidak pernah mendapat uang
lebih dari yang berwarna kecoklatan. Dan ya.. remah-remah roti buangan
orang-orang pasar.” Kepala besar di depanku miring, “Ya, menyedihkan sekali
Anak Rafif, lalu bagaimana hasil ujian
akhirmu kemarin?” antusiasme wajahnya tergambar jelas. Merah padam. “Aku selalu
dapat yang pertama, mamak selalu menjadi guru terbaik selama aku hidup.” Tawa keras
Apah memenuhi ruangan. “Anak selalu menegur tentang abah anak, sebagai orang
yang susah.” “Memang realita Pah,” pundakku ditabok-tabok manusia tambun hingga terjungkal. Dan menarikku kembali
duduk.
“Kau tau nak,
30 tahun lalu, istriku dibunuh para petinggi gangster. Dan mungkin dia sudah menyatu
dengan aspal sekarang.” Jam berdetak keras menyelubungi ruangan lengang.
“Aspal?” mataku bergidik aneh. “Ya, cara pembunuhan anggota yang dicap munafik
nak, Apah sungguh menyesal, belum sempat mengajak istri Apah ke jalan yang
benar.” Ruangan lebar itu kembali lengang, tersisa hembusan nafas kami berdua.
“Kau tau, suasana hati yang indah, belum tentu membuat kehidupan kita juga
sejalan. Karena, Tuhan itu nyata. Dia bisa merubah apa saja yang
dikehendakinya.”
Malam
ini berakhir dengan secangkir susu yang ketiga, Apah menggiringku masuk ke
kamar. “Bagaimanapun miskinnya Abah anak, pasti dia orang yang sangat
bertanggung-jawab, percayai itu nak.” Pintu kamar ditutup dari luar, dan
kembali terbuka lagi, “Besok hari pertama Anak Rafif kuliah, jangan pernah
kecewakan abah, mamak, dan juga apah.”
***
4
tahun berlalu, sungguh akan kujagal waktu bila tak bisa menyelesaikannya. Aku
mendapatkan gelar summa cumlaude. Tak dapat dipercaya, dan Apah sudah
menyiapkan satu kursi goyang di sebelah kursi dirut megahnya. Sebagai Sang
Penggenggam kedua.
Namun
tak dapat dipungkiri, hidup adalah sebuah misteri untuk semua orang. Saat
sedang melakukan oprasi di hotel_melihat kinerja staf-stafnya di sana, aku
hafal, saat itu jam 15:13:56 saat Apah dijemput malaikat takdir_menarik
sekenanya. Aku memang sama sekali tidak menangisinya, sungguh, sekarang anak
remah roti tinggal sendiri di kota besar. Tak ada bapak ustaz seperti 5 tahun
lalu.
Selamat tinggal Rafif.
Salah
seorang pelayan di rumah memanggilku cepat-cepat. “Tuan Muda Rafif, Hotel
Tambun Kwang ludes terbakar, Restoran Anghani Muda juga ikut terbakar, diduga
dari musuh dari Tuan Besar, mungkin gangster Tuan Besar itu memiliki dendam
yang amat besar. Tuan Besar sangat kaya bukan Tuan Muda?” dia meminta
persetujuanku. Aku mengangguk sedikit. “Sekitar 60 hotel dan 100 restoran di
seluruh dunia dibumi hanguskan oleh terduga tersangka tuan, kita harus berjaga
sekarang.” Aku bersiap. “Urus semuanya, aku harus segera terbang.” Para pelayan
di rumah nan megah itu ramai, membincangkan ide-ide mereka. “Kalian harus
berpikir cerdas. Pelayan.” Aku berlari sembari memakai jaket tebal anti
radiasi. Aku sudah siap dengan genjotan ini sebelum mereka siap.
Jet
tempur di halaman belakang rumah sudah siap berangkat. Bersama muatan yang tak
akan kau kira akibatnya. “Sudah siapkah tuan muda?” dia menyapaku hangat. Kenalan
semasa kuliahku. Tentara nasional angkatan udara terhebat menurutku --. Kau tau,
saking cepatnya Ia mengemudi, radar apapun tak akan bisa menangkapnya.
Wuss..
kecepatannya berkilo-kilo sepersekian detik. Layaknya cahaya. Aku duduk di jok
depan dengan perlengkapan super lengkap. Bercengkrama aktif dengan kantor pusat
jet tempur. “Berapa lama waktunya?” tegasku, “20 menit, bolak-balik dan misi
berhasil.” “Mudah sekali,” pikirku, “Baiklah, serahkan semuanya padaku.” Aku berucap
jumawa.
Jet
tempur melaju dengan cepat, “Sekarang tuan muda,” aku membuka pengunci benda
tersebut dan menyaksikan drama kejatuhannya, indah sekali.
***
Aku
meninggalkan rumah megah di ibu kota. Membeli rumah singgah di dekat pantai
yang tak akan pernah diketahui manusia, siapapun. Kecuali mamak, mungkin dia
memiliki kemampuan hebat semacam indera banyak yang dikatakan orang-orang.
Mamak datang, bersama Abah yang
sudah sakit-sakitan.
“Rafif, kamu tidak akan pernah
mengerti apa artinya kehidupan nak, sungguh. Hatimu mati.” Aku hanya diam, menatap lampion-lampion yang
bergoyangan di pinggir pantai.
Apa
artinya hidup? Apah, kau tak pernah menggariskan hal yang benar tentang itu. Hidup?
Kehidupan? Ah aku amat bodoh. Maafkan aku Apah, yang telah menghancurkan
kesabaran dan keikhlasanmu, aku sepertinya pantas dihukum seperti istrimu.
Mamak, maafkan aku, aku tak pernah bisa memahami apapun yang kau katakan, guru
agama yang kau bilang. Memang aku tak pernah meledakkan amarah, tapi aku meledakkan
yang lebih dahsyat dari itu. Abah maafkan anakmu yang begitu mudah mengutarakan
apa yang hanya anakmu lihat. Mengertikan dengan seenaknya sendiri.
Maafkan anakmu, Abah, Mamak,
Apah_Rafif Ghani