Senin, 23 Mei 2016



Gegana para Bedebah

                Awan lebam sore ini nampak berkeliaran tak tentu. Menunggui rembulan menggantikan saga yang telah bersedia rehat dengan takzim. Debur ombak yang masih menghibur telinga-telinga haus suara, layaknya terompet surga tak henti-hentinya menyanyikan dendangan tak gulana. Sedang, bahagialah. Pasir putih bertekstur lembut layaknya eskrim susu itu meleleh ketika dipijak. Menimbulkan rasa rileks dalam jiwa, Subhanallah. Kincir angin di samping rumah singgahku berputar kencang ditiup angin laut. Begitu juga lampion-lampion berwarna manis di setiap ujung-ujung atap, semua menari mengikuti iramanya.
                Di rumah singgah ini, aku menghidupi diriku sendiri. Sebenarnya sudah bukan rumah singgah lagi namanya. Rumah ini kubeli dari petugas pantai yang mengaku menjadi pemiliknya. Harganya saat itu bisa untuk membeli motorsport. Getir memang menerimanya, bayangkan saja, aku hanya sebatang kara di dunia ini. Bagaimana mungkin aku bisa membeli rumah singgah dengan label semahal itu? Tapi, pada realitanya nanti, aku akan dengan mudah membeli bahkan memborong semua rumah singgah jelek itu jika ada, diseluruh dunia. Betapa aku punya Tuhan yang amat kaya raya jika hanya meminta satu saja.
                Ini cerita tentang perjuangan, dengarkan, maka kau akan tau semuanya.
***
                “Fif, sudahkah kamu memilah kue di kantong plastik?” abah, orang termiskin di dunia ini, untuk membeli sebutir beras saja dia harus menggali tanah merah yang menakutkan. “Belum bah, apakah abah membelinya di toko yang aku inginkan?” anak ingusan ini bertanya dengan jumawa. Tak berpikir apapun. “Iya nak,” setelah beberapa menit nanti aku tau jika abah selalu berbohong masalah makanan yang sehari-hari kumakan, bodohnya aku. “Baik bah, laksanakan!” aku berlari kecil menuju meja makan reyot tak terurus. Mengambil roti yang masih tampak bagus dan bersih, dilapisi plastik bening yang menambah kesan ‘membeli’ pada tatapan mataku.
                Aku bersorak di dalam hati, berteriak riang gembira ketika mengeluarkan beberapa roti baru itu dan meletakkannya di piring keramik, sungguh bahagia, apa kau bisa merasakan bahagiaku saat itu? “Abah juga membelikan susu sachet untuk kamu, bisa dimakan bersama roti manis itu. Spesial untuk anak abah yang hari ini ulang tahun.” Percaya tidak percaya, abah menangis memelukku, membasahi baju lusuhku. “Nak, abah ini abah terbodoh di dunia, abah termiskin di dunia. Abah bahkan tidak pernah membelikan roti seperti yang kamu bayangkan. Abah tidak mampu nak. Mamak? mamakpun sama seperti abah.” Abah sukses membuatku hancur di sore ini.
***
                Ini beberapa hari setelah kelulusan, dimana aku mendapat predikat yang amat membanggakan keluarga miskinku. Ya, begitu amat membanggakan, di dalam lingkup keluargaku, tidak ada lulus sekolah dan bekerja mapan. Tidak ada kata bersenang-senang dan makan enak. Tidak ada kata kuliah, dan sarjana.
                “Mamak tidak berharap kamu sekolah tinggi, yang penting kamu pintar agama, dan sukses dunia akhirat.” Mamak, dengan penuh semangat, senyumnya memenuhi wajah. “Tapi abah mau kamu sekolah tinggi, biar jadi sarjana. Belajar akuntan, biar ngitung-ngitung kamu baik, nggak seperti mamak dan abah. Mamak bilang seperti itu tak memikirkan akibatnya.” Abah tampak membela diri sendiri. “Ya.. orang sarjana belum tentu bisa bekerja bah, dan soal hitung-menghitung mamak jagonya,” mataku berkeliling, berusaha menjauhkan konsentrasi kepada dua orangtua yang sedang cerewet berkepanjangan itu.
                “Mak mak, sungguh bodoh kau ini,” abah meninggalkan ruangan yang sedari tadi hangat diterpa sindiran-sindiran mereka. “Aku tidak bodoh, jika aku bodoh kenapa kau menikahiku?” langkah kaki abah tak berhenti, sambil mengangkat bahunya. “Ya... itu rahasia yang di atas.” Aku cekikikan melihat drama korea barusan.
                Esok paginya, setelah hari kelulusanku. Mamak menyiapkan perbekalan, pakaian dan tas saja sebenarnya. Dan tangannya menggenggam sesuatu.
“Untuk Rafif,” genggamannya masih belum terlepas dari tanganku.
“Apa Mak?” sudah, terima saja dulu.
“Uang, kamu harus merantau hari ini. Kamu sudah lulus. Ini adalah waktunya.” Mak ngotot menarik-narik kedua tanganku.
“Kenapa harus keluar kota? Aku bisa bekerja sebagai tukang tambal ban di kota sendiri.” Menggeleng, mamak menggeleng dengan takzim.
                Saat itu juga aku mengangguk, menerima paksaan mamak dengan sopan.
“Baiklah mak,” senyum merekahpun menghiasi wajah cerahnya. Apapun demimelihat mamak bahagia akan aku lakukan.Hari itu juga azzamku berubah, merantau membahagiakan mamak. Bukan bekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan hanya menjadi tukang tambal ban abal-abal yang kuidam-idamkan begitu lama, doakan aku mak, semoga saja anakmu ini bisa menggenggam dunia. Dan tidak terjerumus dalam dosa.
***
                Selamat datang anak Rafif, di tempat dimana kau akan selalu bahagia, ditemani Apa Kwang, kemakmuran, dan semua keinginanmu akan Apa kabulkan. Semuanya, sungguh anak Rafif. Bapak ustaz bertubuh tambun itu berkata_jumawa, dilanjutkan ‘tertawa jahat’ di akhirnya, seperti di film-film. Sesungguhnya aku takut bersamanya, maksudku, aku tidak percaya sepenuhnya dengan janji-janji yang dia kokohkan. Aku hanya ingin sekadar mencari perlindungan dan, tempat tinggal. Itu saja, tapi nanti aku akan tau, seluruh kehidupan nyataku, berawal dari sini.
***
                Aku diantar mamak sampai terminal bis, jujur, melihat mesin butut bin jelek karatan itu saja aku langsung terkesima, seakan ingin bersimpuh di depannya. Memuja-muja, tapi mamak menjelaskan dengan saksama, mamak memang guru segalanya untuk kehidupanku. “Fif, ingat semua kata mamak tentang tuhan. Kalau kamu sedang lemah iman, ingat sekali lagi semua kata mamak tentang Tuhan, mamak tak akan mengakui kau sebagai anak lagi jika kau memilih murka Tuhan, tak segan mamak mengusirmu dari dunia ini, carilah guru agama yang baik Rafif, carilah jati diri, carilah ajaran yang benar.” Mamak, sambil membuntal gumpalan uang dari tas jinjing lusuhnya. “Pintar-pintarlah mengatur duit ini Fif, mamak tak bisa bawakan kau lebih dari ini, yang tadi itu, untuk transportasi, dan yang ini untuk hidup sehari-hari, kamu harus bisa mencari sambilan untuk menambah ini Fif, usaha sbaik mungkin ya Fif.” Aku mengangguk saja, mengerti keadaan mak, “Doakan Rafif selalu mak, salam buat abah. Rafif janji pulang membawa berbatang-batang emas. Mamak bisa menikmatinya sepanjang waktu.” Salah, mak menggeleng tegas. “Mamak ingin kamu pintar agama, pasti kehidupanmu akan terjamin,” sepatah kata sebelum bis ‘indah’ menyeberangi luasnya hamparan aspal hitam panas. Dan begitu selama seharian.
Dan aku sampai di kota tujuanku. Kota harapan.
                Saat itu, sekitar tahun 90-an, sedang marak-maraknya gangster yang seakan ‘macho’ aku melihat beritanya di mana-mana. Terkesan garang dengan style dan perekrutan yang penuh persyaratan. Aku lewat di salahsatu sarang gangster ternama (beberapa jam setelah itu aku dijelaskan semua tentang gang ternama itu di rumah besar di tengah kota) di sana aku bertemu bapak tambun yang mengaku sedang beristirahat setelah menghabisi banyak personil gangster. Dia memakai kupiah haji putih dan jubah panjang selutut. Aku langsung teringat ucapan mak. aku harus berkenalan dengannya, pasti dia pemuka agama yang mamak anut.
“Benarkah ini bapak ustaz?” segan, aku menundukkan badanku serendah-rendahnya.
“Maaf wahai anak, saya hanya orang awam. Apakah anak seorang perantauan?” matanya teduh.
“Sa saya, ya.. saya perantauan nama saya Rafif. Bapak ustaz?”
“Baik anak Rafif, saya Kwang. Muslim jepang.”
“Apakah anak ingin tinggal bersama Apah Kwang? Menjadi teman Apah Kwang di rumah?” aku mengangguk takzim, bagaimanapun aku akan menerima orang berkupiah dan bersarung seperti macam pemuka agama.
***
                “Tidak perlu takut dengan Apah, anggap semuanya milikmu. Apah tak akan pernah usil.” Apah, begitu panggilan spesial yang dia berikan sendiri untuk dirinya. Dihari pertama menginjakkan kaki, aku hanya mengangguk-dan menggeleng saja, berkonsentrasi takzim mendengarkan semua cerita Apah tentang gangster yang tadi dihabisi Apah seorang diri. Dihari kedua, aku akhirnya tau.
                “Apah,” aku mulai bisa memanggilnya, dengan sebutan itu. “Iya anak?” Apah melinting setengah lengan bajunya. Terihat sedikit tanda yang menurutku hebat sekali. “Pah, apakah Apah punya tato?” Ia agak kebingungan membenarkan lengan bajunya. “Walaupun kau hanya anak perantauan yang tak dikenal statusnya, kau tetap keluargaku, kau harus tau anak.” Tercengang. Benar, Apah yang kukenal sebagai ‘bapak ustaz’ yang begitu alim ternyata memiliki masalalu kelam.
                “Benar anak Rafif, Apah dulu bagian dari gangster itu. Apa memutuskan keluar ketika Apa merasakan jantung Apah berhenti berdetak ketika mendengar suara shalawat. Apah begitu takzim dan terkesima.
 Kepala Apah bergeleng-geleng mengingat-ingat siluet semu di atas kepalanya,
Dan saat itu juga Apah keluar, lihat tangan Apa Nak,” oh Tuhan ternyata jari-jemari Apah sama sekali tidak ada. “Itu upacara yang paling tidak bisa dilupakan, dan hari ini Apah kembali mengingat hal yang sungguh akan begitu penting bagi kehidupan Apah, Apah tau nak, anak Rafif, kamu pasti amanah untuk Apah, Apah harus menjaga kamu sebaik mungkin, Apah janji,”  iya Apah, aku juga akan seperti itu. “aku adalah orang bodoh yang tinggal bersama orang tuaku di desa Pah,” sekali lagi Apah mengangguk dan menegakkan kepala, berkata sesuatu. “Bisa Apah tau, nama Abahmu siapa?” detil sekali, batinku. “Abah Mal Ang, dan Mamak Gendis, aku tak tau nama asli mereka Pah, itu nama di pedesaan sana. Apah takzim mendengarkan. Setiap hari aku diantar mamak dengan sepedanya. Apah bekerja setiap hari sebagai orang susah, dia tidak pernah mendapat uang lebih dari yang berwarna kecoklatan. Dan ya.. remah-remah roti buangan orang-orang pasar.” Kepala besar di depanku miring, “Ya, menyedihkan sekali Anak Rafif,  lalu bagaimana hasil ujian akhirmu kemarin?” antusiasme wajahnya tergambar jelas. Merah padam. “Aku selalu dapat yang pertama, mamak selalu menjadi guru terbaik selama aku hidup.” Tawa keras Apah memenuhi ruangan. “Anak selalu menegur tentang abah anak, sebagai orang yang susah.” “Memang realita Pah,” pundakku ditabok-tabok manusia tambun hingga terjungkal. Dan menarikku kembali duduk.
“Kau tau nak, 30 tahun lalu, istriku dibunuh para petinggi gangster. Dan mungkin dia sudah menyatu dengan aspal sekarang.” Jam berdetak keras menyelubungi ruangan lengang. “Aspal?” mataku bergidik aneh. “Ya, cara pembunuhan anggota yang dicap munafik nak, Apah sungguh menyesal, belum sempat mengajak istri Apah ke jalan yang benar.” Ruangan lebar itu kembali lengang, tersisa hembusan nafas kami berdua. “Kau tau, suasana hati yang indah, belum tentu membuat kehidupan kita juga sejalan. Karena, Tuhan itu nyata. Dia bisa merubah apa saja yang dikehendakinya.”
                Malam ini berakhir dengan secangkir susu yang ketiga, Apah menggiringku masuk ke kamar. “Bagaimanapun miskinnya Abah anak, pasti dia orang yang sangat bertanggung-jawab, percayai itu nak.” Pintu kamar ditutup dari luar, dan kembali terbuka lagi, “Besok hari pertama Anak Rafif kuliah, jangan pernah kecewakan abah, mamak, dan juga apah.”
***
                4 tahun berlalu, sungguh akan kujagal waktu bila tak bisa menyelesaikannya. Aku mendapatkan gelar summa cumlaude. Tak dapat dipercaya, dan Apah sudah menyiapkan satu kursi goyang di sebelah kursi dirut megahnya. Sebagai Sang Penggenggam kedua.
                Namun tak dapat dipungkiri, hidup adalah sebuah misteri untuk semua orang. Saat sedang melakukan oprasi di hotel_melihat kinerja staf-stafnya di sana, aku hafal, saat itu jam 15:13:56 saat Apah dijemput malaikat takdir_menarik sekenanya. Aku memang sama sekali tidak menangisinya, sungguh, sekarang anak remah roti tinggal sendiri di kota besar. Tak ada bapak ustaz seperti 5 tahun lalu.
Selamat tinggal Rafif.
                Salah seorang pelayan di rumah memanggilku cepat-cepat. “Tuan Muda Rafif, Hotel Tambun Kwang ludes terbakar, Restoran Anghani Muda juga ikut terbakar, diduga dari musuh dari Tuan Besar, mungkin gangster Tuan Besar itu memiliki dendam yang amat besar. Tuan Besar sangat kaya bukan Tuan Muda?” dia meminta persetujuanku. Aku mengangguk sedikit. “Sekitar 60 hotel dan 100 restoran di seluruh dunia dibumi hanguskan oleh terduga tersangka tuan, kita harus berjaga sekarang.” Aku bersiap. “Urus semuanya, aku harus segera terbang.” Para pelayan di rumah nan megah itu ramai, membincangkan ide-ide mereka. “Kalian harus berpikir cerdas. Pelayan.” Aku berlari sembari memakai jaket tebal anti radiasi. Aku sudah siap dengan genjotan ini sebelum mereka siap.
                Jet tempur di halaman belakang rumah sudah siap berangkat. Bersama muatan yang tak akan kau kira akibatnya. “Sudah siapkah tuan muda?” dia menyapaku hangat. Kenalan semasa kuliahku. Tentara nasional angkatan udara terhebat menurutku --. Kau tau, saking cepatnya Ia mengemudi, radar apapun tak akan bisa menangkapnya.
                Wuss.. kecepatannya berkilo-kilo sepersekian detik. Layaknya cahaya. Aku duduk di jok depan dengan perlengkapan super lengkap. Bercengkrama aktif dengan kantor pusat jet tempur. “Berapa lama waktunya?” tegasku, “20 menit, bolak-balik dan misi berhasil.” “Mudah sekali,” pikirku, “Baiklah, serahkan semuanya padaku.” Aku berucap jumawa.
                Jet tempur melaju dengan cepat, “Sekarang tuan muda,” aku membuka pengunci benda tersebut dan menyaksikan drama kejatuhannya, indah sekali.
***

                Aku meninggalkan rumah megah di ibu kota. Membeli rumah singgah di dekat pantai yang tak akan pernah diketahui manusia, siapapun. Kecuali mamak, mungkin dia memiliki kemampuan hebat semacam indera banyak yang dikatakan orang-orang.
Mamak datang, bersama Abah yang sudah sakit-sakitan.
“Rafif, kamu tidak akan pernah mengerti apa artinya kehidupan nak, sungguh. Hatimu mati.”  Aku hanya diam, menatap lampion-lampion yang bergoyangan di pinggir pantai.
                Apa artinya hidup? Apah, kau tak pernah menggariskan hal yang benar tentang itu. Hidup? Kehidupan? Ah aku amat bodoh. Maafkan aku Apah, yang telah menghancurkan kesabaran dan keikhlasanmu, aku sepertinya pantas dihukum seperti istrimu. Mamak, maafkan aku, aku tak pernah bisa memahami apapun yang kau katakan, guru agama yang kau bilang. Memang aku tak pernah meledakkan amarah, tapi aku meledakkan yang lebih dahsyat dari itu. Abah maafkan anakmu yang begitu mudah mengutarakan apa yang hanya anakmu lihat. Mengertikan dengan seenaknya sendiri.
Maafkan anakmu, Abah, Mamak, Apah_Rafif Ghani
               
               

Sabtu, 31 Januari 2015

___life___


Kodrat hidup adalah berusaha, dengan tabiatnya sendiri-sendiri manusia menjalankannya, kini pasir telah menjadi debu, dan nasi telah menjadi bubur, realita memanglah realita, takdir telah dalam genggaman, persepsi orang tentang kehisupan memang berbeda-beda, tapi hidup lumrah kata adalah bertujuan untuk meraih RidhoNya, ya, tak ada beda setiap manusia, hanya untuk meraih Ridhonya. ;)